14 Maret 2013

KEHADIRAN SAKSI DALAM AKAD

A.    Saksi dalam Perkawinan
            Kesaksian dalam suatu perkawinan merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga ia menjadi salah satu syarat sahnya suatu perkawinan hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang menyatakan :
لاَنِكَاحَ إِلاَّبِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ (رواه الدارقطنى عن عائسة)
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
(H.R. Daruquthni dari Aisyah r.a.)
            Dalam perkawinan maka saksi itu adalah dimaksudkan untuk memuliakan perkawinan itu sendiri dan untuk menolak berbagai prasangka yang mungkin timbul.
            Dalam surat at-Thalaq ayat 2, Allah menyatakan sebagai berikut :  
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.
            Dengan adanya dua orang saksi yang adil, teguh berpijak pada kebenaran dan sebaliknya pantang memutar balikkan fakta diharapkan dapat berperan sebagai batu karang yang kokoh kuat untuk menolak dan menangkal segala bentuk fitnah yang keji, tuduhan yang keliru, prasangka yang tidak semestinya atas hubungan kedua insan yang sesungguhnya telah dihalalkan oleh Allah swt.[1]
            Selanjutnya kami akan memaparkan tentang perbandingan beberapa mazhab mengenai masalah saksi akad nikah.
            Syafi’i, Hanafi dan  Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa diisyaratkan harus adil. Argumen dari mazhab hanafi ini di dukung dengan firman Allah swt :
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai. (Al Baqarah : 282)
            Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki, muslim dan adil. Sedangkan Malik mengatakan saksi hukumnya tidak wajib dalam akad. Dalam hal ini imam Malik lebih mengutamakan pada di umumkan (disiarkan), baik di persaksikan atau tidak.[2] Tentang persyaratan pemberitahuan, dasarnya adalah sabda Nabi Saw :
أَعْلِنُواهذَا النِكَاحَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ بِالدُّفُوْفِ. (أخرجه الترمذي وابن ماجه)
Umumkanlah pernikahan ini dengan menabuh rebana” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).[3]  
            Sementara itu Imamiyah berpenapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihab, dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.[4]
B.     Syarat-Syarat Menjadi Saksi
            Disini kami mengambil dari beberapa kitab dan buku fiqih tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam akad nikah, yaitu :
1.      Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang
2.      Kedua saksi itu adalah laki-laki
3.      Kedua saksi itu adalah beragama Islam
            Menurut Ahmad, Syafi’i, Muhammad bin Al-Hasan perkawinan tidak sah jika saksi-saksinya bukan orang Islam, karena yang kawin adalah orang Islam, sedang kesaksian bukan orang Islam terhadap orang Islam tidak dapat diterima.
            Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan ahli kitab maka kesaksian dua orang ahli kitab boleh diterima. Dan pendapat ini diikuti oleh Undang-undang perkawinan Mesir.
4.      Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka
            Abu Hanifah dan Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad tidak mengharuskan syarat itu. Dia berpendapat akad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak hukumnya tetap sah dan karena Al Qur’an dan hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
5.      Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga muruah.
6.      Kedua saksi itu mendengarkan omongan dari kedua belah pihak yang beraqad dan memahami bahwa ucapannya itu maksudnya adalah ijab-qabul perkawinan.
            (bila para saksi buta maka hendaklah bisa mendengar suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut suaranya kedua orang yang beraqad).[5]
7.      Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.[6]
8.      Kedua saksi itu telah baligh
9.      Kedua saksi itu berakal sehat
10.  Kedua saksi itu adil.[7]
            Menurut Imam Hanafi Untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak diisyaratkan harus orang yang adil, jadi perkawinan yang disaksikan dua orang fasik hukumnya sah
            Golongan Syafi’i berpendapat saksi itu harus orang yang adil, menurut mereka bila perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya, maka mereka berpendapat hukumnya tetap sah karena perkawinan itu terjadi dimana-mana. Jika diharuskan mengetahui lebih dulu adil tidaknya, hal itu akan menyusahkan. Karena itu cukuplah dilihat lahirnya dimana ia tidak terlihat kefasikannya. Bila sesudah aqad ia terbukti fasik maka aqadnya tidaklah terpengaruhi, karena syarat adil untuk menjadi saksi dilihat dari segi lahirnya yaitu bahwa dia tidak terlihat ketika itu melakukan kefasikan dan hal itu terlihat terbukti.[8]
C.    Saksi Nikah dalam Undang-Undang
            Dalam buku undang-undang hukum perkawinan yang mengatur tentang saksi perkawinan yang tertera pada bab IV bagian keempat antara lain :
Pasal 24
1.      Saksi dalam perkawinan merupaka rukun pelaksanaan akad nikah.
2.      Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi .
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan tidak tuna runggu dan tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.[9]



[1] Kalam, Musthafa., Chalil, M.S., Waharpjani,  Fiqih Islam, (Jogjakarta, : Citra Karsa, 2002), 261-262.
[2] Al Barudi, Syaikh Imad Zaki, Tafsir Wanita, penerjemah Rahman, Samson, (Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar, 2007) 149.
[3] Rusyd, Ibnu, Penerjemah Said, Imam Ghazali, Zaidun Achmad, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), 431.
[4] Mughniyah , Muhammad Jawad, penerjemah A.B., Masykur, Muhammad, Afif, Al-Kaff, Idrus, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta : PT Lentera Basritama, 1999), 313-314. 
[5] Sabiq, Sayyid, Alih Bahasa Syaf, Muhyiddin, Fiqih Sunnah, juz 6, (Bandung : PT Al Ma’arif, 1994), 81-83.
[6] Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqih, (Bogor : Prenada Media, 2003), 96.
[7] Al-Ghazy, Asy-Syekh Muhammad bin Qasim, Alih Bahasa Sunarto, Achmad, Fathul Qorib, (Surabaya : Al Hidayah, 1992) 31-32.
[8] Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, juz 6, 81-83.
[9] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : CV. Nuansa Alam,  2009), 8-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pastikan Komentarmu .......

Membantu untuk merubah dunia !?!?!?!?!?

Copyright 2011
Hayyan Ahmad

Powered by
Free Blogger Templates
SELAMAT DATANG DI HAYYAN-AHMAD.BLOGSPOT.COM | DAPATKAN UPDATE MAKALAH TERBARUKU DAN CATATAN HIDUPKU | UNTUK KENYAMANAN MEMBACA GUNAKAN SELALU INTERNET ACESS 3Mbps | APA BILA INGIN MENG-COPY INFORMASI/ARTIKEL DI BLOG INI | JANGAN LUPA TINGGALKAN JUGA COMMENT ANDA | HATUR NUWUN eh salah MATUR NUWON | ASSALAMUALAIKUM