A.
Saksi dalam
Perkawinan
Kesaksian dalam suatu perkawinan
merupakan sesuatu yang sangat penting sehingga ia menjadi salah satu syarat
sahnya suatu perkawinan hal ini didasarkan pada sebuah hadist yang menyatakan :
لاَنِكَاحَ إِلاَّبِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ (رواه
الدارقطنى عن عائسة)
“Tidak ada
nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.
(H.R. Daruquthni
dari Aisyah r.a.)
Dalam perkawinan maka saksi itu
adalah dimaksudkan untuk memuliakan perkawinan itu sendiri dan untuk menolak
berbagai prasangka yang mungkin timbul.
Dalam surat at-Thalaq ayat 2, Allah
menyatakan sebagai berikut :
“dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.
Dengan adanya dua
orang saksi yang adil, teguh berpijak pada kebenaran dan sebaliknya pantang memutar
balikkan fakta diharapkan dapat berperan sebagai batu karang yang kokoh kuat
untuk menolak dan menangkal segala bentuk fitnah yang keji, tuduhan yang
keliru, prasangka yang tidak semestinya atas hubungan kedua insan yang
sesungguhnya telah dihalalkan oleh Allah swt.[1]
Selanjutnya kami akan
memaparkan tentang perbandingan beberapa mazhab mengenai masalah saksi akad
nikah.
Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang
laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa
diisyaratkan harus adil. Argumen dari mazhab hanafi ini di dukung dengan firman
Allah swt :
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai. (Al
Baqarah : 282)
Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa
perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki, muslim dan adil. Sedangkan Malik
mengatakan saksi hukumnya tidak wajib dalam akad. Dalam hal ini imam Malik
lebih mengutamakan pada di umumkan (disiarkan), baik di persaksikan atau tidak.[2]
Tentang persyaratan pemberitahuan, dasarnya adalah sabda Nabi Saw :
أَعْلِنُواهذَا النِكَاحَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهِ
بِالدُّفُوْفِ. (أخرجه الترمذي وابن ماجه)
“Umumkanlah pernikahan ini dengan
menabuh rebana” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).[3]
Sementara itu Imamiyah
berpenapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihab,
dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.[4]
B.
Syarat-Syarat
Menjadi Saksi
Disini kami mengambil dari beberapa kitab
dan buku fiqih tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam akad nikah, yaitu :
1.
Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang
2.
Kedua saksi itu adalah laki-laki
3.
Kedua saksi itu adalah beragama Islam
Menurut
Ahmad, Syafi’i, Muhammad bin Al-Hasan perkawinan tidak sah jika saksi-saksinya
bukan orang Islam, karena yang kawin adalah orang Islam, sedang kesaksian bukan
orang Islam terhadap orang Islam tidak dapat diterima.
Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf
berpendapat bila perkawinan antara laki-laki muslim dan perempuan ahli kitab
maka kesaksian dua orang ahli kitab boleh diterima. Dan pendapat ini diikuti
oleh Undang-undang perkawinan Mesir.
4.
Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka
Abu
Hanifah dan Syafi’i mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang
yang merdeka, tetapi Ahmad tidak mengharuskan syarat itu. Dia berpendapat akad
nikah yang disaksikan oleh dua orang budak hukumnya tetap sah dan karena Al Qur’an
dan hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi
dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
5.
Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak
pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap
menjaga muruah.
6.
Kedua saksi itu mendengarkan omongan dari kedua
belah pihak yang beraqad dan memahami bahwa ucapannya itu maksudnya adalah
ijab-qabul perkawinan.
(bila
para saksi buta maka hendaklah bisa mendengar suaranya dan mengenal betul bahwa
suara tersebut suaranya kedua orang yang beraqad).[5]
7.
Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.[6]
8.
Kedua saksi itu telah baligh
9.
Kedua saksi itu berakal sehat
10.
Kedua saksi itu adil.[7]
Menurut
Imam Hanafi Untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak diisyaratkan harus orang
yang adil, jadi perkawinan yang disaksikan dua orang fasik hukumnya sah
Golongan
Syafi’i berpendapat saksi itu harus orang yang adil, menurut mereka bila
perkawinan disaksikan oleh dua orang yang belum dikenal adil tidaknya, maka
mereka berpendapat hukumnya tetap sah karena perkawinan itu terjadi dimana-mana.
Jika diharuskan mengetahui lebih dulu adil tidaknya, hal itu akan menyusahkan.
Karena itu cukuplah dilihat lahirnya dimana ia tidak terlihat kefasikannya.
Bila sesudah aqad ia terbukti fasik maka aqadnya tidaklah terpengaruhi, karena
syarat adil untuk menjadi saksi dilihat dari segi lahirnya yaitu bahwa dia
tidak terlihat ketika itu melakukan kefasikan dan hal itu terlihat terbukti.[8]
C.
Saksi Nikah
dalam Undang-Undang
Dalam
buku undang-undang hukum perkawinan yang mengatur tentang saksi perkawinan yang
tertera pada bab IV bagian keempat antara lain :
Pasal 24
1.
Saksi dalam perkawinan merupaka rukun pelaksanaan
akad nikah.
2.
Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi .
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah
ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan
tidak tuna runggu dan tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah
dilangsungkan.[9]
[1] Kalam, Musthafa., Chalil, M.S.,
Waharpjani, Fiqih Islam,
(Jogjakarta, : Citra Karsa, 2002), 261-262.
[2] Al Barudi, Syaikh Imad Zaki, Tafsir Wanita,
penerjemah Rahman, Samson, (Jakarta Timur : Pustaka Al Kautsar, 2007) 149.
[3] Rusyd, Ibnu, Penerjemah Said, Imam Ghazali, Zaidun
Achmad, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), 431.
[4] Mughniyah , Muhammad Jawad, penerjemah A.B.,
Masykur, Muhammad, Afif, Al-Kaff, Idrus, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta : PT
Lentera Basritama, 1999), 313-314.
[5] Sabiq, Sayyid, Alih Bahasa Syaf, Muhyiddin, Fiqih
Sunnah, juz 6, (Bandung : PT Al Ma’arif, 1994), 81-83.
[6] Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqih, (Bogor
: Prenada Media, 2003), 96.
[7] Al-Ghazy, Asy-Syekh Muhammad bin Qasim, Alih Bahasa
Sunarto, Achmad, Fathul Qorib, (Surabaya : Al Hidayah, 1992) 31-32.
[8] Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, juz 6, 81-83.
[9] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung : CV. Nuansa Alam, 2009), 8-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pastikan Komentarmu .......
Membantu untuk merubah dunia !?!?!?!?!?